Fenomena perundungan online dan kejahatan dunia maya semakin marak di kalangan remaja di era digital ini.
Media sosial, yang seharusnya menjadi wadah untuk saling berbagi informasi dan mempererat hubungan sosial, kini justru sering kali menjadi tempat untuk menyebarkan kebencian, fitnah, dan perundungan.
Salah satu efek dari fenomena ini adalah meningkatnya kasus-kasus perundungan siber yang menimbulkan trauma psikologis pada korban.
Hal ini membutuhkan perhatian lebih dari berbagai pihak, termasuk dalam perspektif hukum Islam yang terkandung dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Di Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam, KHI merupakan pedoman hukum yang digunakan untuk mengatur berbagai aspek kehidupan umat Islam, termasuk dalam hal perbuatan-perbuatan sosial yang merugikan orang lain.
Dalam konteks perundungan online, perbuatan seperti menyebarkan kebencian, fitnah, atau konten yang merendahkan martabat seseorang jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam yang menekankan pentingnya menjaga kehormatan dan harga diri setiap individu.Namun, KHI, yang lebih fokus pada hukum keluarga dan waris, belum secara eksplisit mengatur masalah perundungan di dunia maya.
Dengan pesatnya perkembangan teknologi, fenomena kejahatan dunia maya semakin melibatkan remaja yang lebih rentan terhadap dampak psikologis.
Oleh karena itu, tantangan besar dalam menghadapi masalah ini adalah bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam penanganan kejahatan dunia maya yang begitu kompleks dan dinamis.
Meskipun KHI tidak mengatur masalah ini secara langsung, prinsip-prinsip moral dan etika yang diajarkan dalam Islam, seperti larangan menyebarkan kebencian dan fitnah, sangat relevan untuk dijadikan acuan dalam menyelesaikan masalah perundungan online.