Kata Kunci : Bencana Hidrometeorologi Sumatera 2025, Psikologi Bencana, Konservasi Alam, Deforestasi, Trauma Kolektif, Biophilia, Model Ecotherapy dan Tindakan Mitigasi Berbasis Komunitas
----------------“
Oleh : Annisa Damhadisya
(Mahasiswi Fakultas Psikologi, UPI “YPTK” Padang)
----------------“
Ketika Hutan Berhenti Melindungi
Pulau Sumatera, yang dikenal sebagai salah satu paru-paru dunia, kini menghadapi realitas tragis. Kekayaan topografi dan curah hujan tinggi, yang seharusnya menjadi sumber kehidupan, telah diubah menjadi kerentanan ekstrem. Berpuluh tahun deforestasi, baik untuk kepentingan industri perkebunan monokultur, pertambangan, maupun pembalakan liar, secara sistematis telah melucuti hutan dari fungsi ekologis primernya sebagai regulator air dan penambat tanah. Kanopi yang hilang menyebabkan air hujan langsung menghantam permukaan tanah yang labil, mempercepat limpasan permukaan dan memicu banjir bandang serta tanah longsor.
Tragedi yang terjadi pada November 2025 adalah manifestasi paling nyata dari kegagalan ini. Bencana hidrometeorologi serentak yang melumpuhkan sebagian besar wilayah Sumatera bukanlah insiden tunggal, melainkan konsekuensi logis dari sebuah kontrak sosial dan ekologis yang diabaikan.Muncul pertanyaan fundamental, "Haruskah kita menjaga hutan dan alam?", harus dijawab dengan tegas. Hutan yang sehat menciptakan lingkungan fisik yang aman dari bencana. Secara psikologis, alam adalah sumber ketenangan (restorative environment), esensial bagi pemulihan stres dan trauma. Hilangnya hutan adalah hilangnya ‘rumah’ dalam makna yang paling spiritual dan mendalam. Oleh karena itu, tugas melindungi hutan dan alam untuk generasi penerus adalah tugas primer, baik dari sudut pandang konservasi maupun kesehatan mental.