B. Kecemasan Lingkungan dan Kebutuhan Resiliensi Komunitas
Tragedi November 2025 memperkuat eco-anxiety sebagai masalah kesehatan mental publik. Untuk melawan ketidakberdayaan ini, diperlukan respons yang transformatif melalui pemberdayaan komunitas:
Dosen Fakultas Psikologi UPI YPTK Padang, Harry Theozard Fikri, M.Psi., Psikolog, yang aktif dalam respons psikoedukasi dan trauma healing di Sumatera Barat, menekankan bahwa kunci pemulihan terletak pada tindakan nyata komunitas:
"Setelah tragedi November 2025, Trauma healing dan psikoedukasi harus diubah menjadi terapi aksi. Kita tidak hanya menyembuhkan luka batin, tetapi juga mengembalikan rasa kontrol pada korban. Ini dicapai ketika korban diubah dari subjek pasif menjadi agen perubahan dengan terlibat langsung dalam merestorasi hutan dan lingkungan mereka. Memulihkan hutan yang rusak adalah cara paling nyata untuk menyembuhkan luka psikologis kolektif dan mengembalikan rasa aman dasar bagi generasi penerus."
Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa pemulihan mental harus diiringi dengan tanggung jawab ekologis. Ketika korban secara fisik berpartisipasi dalam penanaman kembali hutan (simbol perlindungan), mereka secara psikologis mendapatkan kembali rasa kontrol dan harapan.Kesimpulan
Bencana hidrometeorologi November 2025 adalah peringatan akhir dari kegagalan manusia menjaga ekosistem Sumatera. Konsekuensi psikologisnya (PTSD, eco-anxiety, kehilangan identitas) bersifat mendalam dan mengancam kelangsungan psikologis generasi penerus. Kesehatan mental masyarakat berbanding lurus dengan kesehatan lingkungan mereka. Oleh karena itu, melindungi hutan dan alam adalah intervensi kesehatan mental preventif yang paling fundamental.
Strategi pemulihan harus bergeser dari model reaktif pasif menuju model proaktif berbasis ekologi: