Dan, Prof. Dr. Suryadi, S.Psi., Psikolog, Ahli Psikologi Lingkungan Universitas Indonesia (UI) menyatakan,
"Tragedi November 2025 akan mempercepat munculnya 'Trauma Eko-Generasional' di mana generasi muda Sumatera tumbuh dengan kecemasan konstan. Mereka tidak melihat alam sebagai pelindung, melainkan sebagai ancaman yang diperburuk oleh keserakahan generasi sebelumnya. Kehilangan hutan yang sehat adalah kehilangan rasa aman dan harapan dasar bagi anak-anak."
Judul Makalah: "Trauma Eko-Generasional Pasca Bencana November 2025: Studi Kasus Sumatera Barat dan Utara" (2025).Spektrum Dampak Psikologis Spesifik Pasca November 2025
A. Dampak bencana melahirkan disfungsi psikologis yang kompleks:
1. Kehilangan Identitas Tempat (Place Identity Loss)
Bencana November 2025 yang merusak bentang alam secara permanen menimbulkan krisis identitas. Bagi masyarakat yang terikat kuat pada sungai dan hutan, kehancuran alam berarti kehancuran identitas diri. Individu merasa 'tercabut' dari akarnya, menimbulkan duka yang dikenal sebagai solastalgia, kesedihan yang dialami karena menyaksikan tempat tinggal dicintai dihancurkan.
2. Depresi dan Learned Helplessness
Bencana yang berulang, khususnya yang dianggap dapat dicegah (seperti yang dipicu deforestasi), memicu perasaan ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness). Korban bencana mungkin merasa bahwa upaya membangun kembali sia-sia karena mereka tahu penyebab bencana (kerusakan hutan) masih eksis. Keadaan ini menjadi pintu masuk bagi depresi klinis, ditandai dengan apatisme dan hilangnya motivasi.
3. Konflik dan Fragmentasi Sosial
Stres pasca-bencana yang berkepanjangan dapat merusak kohesi sosial. Ketidakadilan dalam proses bantuan dan amarah terhadap pihak yang diyakini bertanggung jawab atas deforestasi dapat memicu konflik interpersonal dan fragmentasi sosial, menghambat pemulihan kolektif.